Oleh: Adv. H. Nur Kholis
Ketua Kantor Hukum Abri
monitorjabarnews.com – Indonesia, yang seharusnya menjadi mercusuar Demokrasi dengan prinsip “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat,” justru kerap kali mengecewakan. Alih-alih menjadi teladan dalam mengemban amanat konstitusi, negara ini justru melakukan serangkaian pengkhianatan terhadap fondasi yang seharusnya menjadi panduan utama.
Salah satu contoh paling mencolok adalah pengabaian terhadap pendidikan dasar wajib sembilan tahun—sebuah tanggung jawab negara yang diamanatkan oleh undang-undang.
UUD ’45 secara eksplisit menjamin pendidikan sebagai hak fundamental setiap warga negara. Namun, ironisnya, negara gagal menjalankan amanat ini dengan sungguh-sungguh. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan yang menegaskan kewajiban tersebut, realitas di lapangan berbicara lain. Negara seolah mengabaikan instruksi ini, menjadikan MK sebagai lembaga yang tak berdaya mengeksekusi keputusannya.
Ketidaksesuaian ini memicu erosi kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara dan pemangku kebijakan. Kekecewaan ini mendorong masyarakat untuk berorganisasi dan menyuarakan pendapat mereka. Namun, tak jarang organisasi-organisasi ini justru terindikasi menjadi alat untuk menopang kepentingan pribadi dan kelompok, mengkhianati idealisme perjuangan masyarakat luas.
Realitas ini mencerminkan tata kelola pemerintahan yang carut-marut. Negara gagal menjadi pelindung dan pengayom yang efektif bagi masyarakat. Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin, sementara lembaga-lembaga yang mengklaim diri sebagai pejuang sosial sering kali terperangkap dalam pusaran kepentingan pribadi dan kelompok.
Dalam situasi yang demikian genting, revolusi menjadi satu-satunya jalan keluar. Revolusi yang dimaksud bukan hanya sekadar perubahan fisik, tetapi juga transformasi pemikiran—sebuah upaya untuk mengembalikan esensi amanat konstitusi dan menjadikan negara sebagai instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sudah saatnya kita merenungkan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam UUD ’45 dan berjuang tanpa henti untuk memastikan hak-hak rakyat tidak lagi dikhianati.
Kita harus bersatu, bahu-membahu mengubah kondisi ini, dan mendesak pemerintah untuk lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat. Hanya dengan cara ini kita dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap negara dan mewujudkan cita-cita luhur yang tertuang dalam UUD ’45.
Ironi “Circle Perjuangan”
Dalam alam demokrasi, partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan membantu pemerintah adalah esensial untuk mewujudkan masyarakat madani. Namun, ironisnya, banyak organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan diri sebagai pejuang perubahan sosial justru terindikasi beroperasi demi kepentingan pribadi. Mereka menjadikan perjuangan sebagai ladang untuk meraup keuntungan pribadi.
1. Kedok Idealisme: Banyak organisasi yang awalnya tampak idealis dan berjuang untuk kepentingan masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, niat tulus mereka tergerus oleh kepentingan finansial, lebih fokus pada target pendanaan daripada dampak nyata bagi masyarakat.
2. Manipulasi Emosi: Organisasi semacam ini sering kali mengeksploitasi emosi dan kepedulian masyarakat. Mereka menggelar kampanye bombastis dan mengumpulkan dana dengan janji-janji muluk, namun dana tersebut tidak selalu disalurkan untuk tujuan yang dijanjikan, menciptakan kekecewaan mendalam dan hilangnya kepercayaan.
3. Konsumerisme Aktivisme: Ada kecenderungan untuk mengkomersialkan aktivisme. Seminar, pelatihan, dan program-program lainnya dipromosikan dengan harga selangit, menjauhkan mereka dari jangkauan orang-orang yang sebenarnya membutuhkan. Ini bertentangan dengan prinsip dasar organisasi yang seharusnya mengutamakan kepentingan masyarakat.
4. Krisis Kepercayaan: Ketika masyarakat menyadari bahwa perjuangan yang mereka dukung ternyata palsu, krisis kepercayaan pun tak terhindarkan. Masyarakat merindukan pejuang sosial yang tulus untuk menyuarakan perjuangan melawan penyimpangan dan ketidakadilan. Namun, memilah dan memisahkan diri dari lingkungan yang korup seperti ini bukanlah perkara mudah.
5. Kecerdasan dalam Memilih: Di tengah hiruk-pikuk ini, masyarakat harus cerdas dan bijaksana dalam bersikap. Memilih organisasi dengan rekam jejak yang jelas dan transparansi dalam pengelolaan dana adalah langkah krusial. Hanya dengan memilah dan memilih, kita dapat mendukung perjuangan yang tulus dan berdampak nyata bagi masyarakat, serta menciptakan perubahan positif yang kita dambakan.
Kesimpulan
“Circle perjuangan” yang hanya mengatasnamakan organisasi untuk melawan penyimpangan, namun berujung pada pencarian keuntungan pribadi, adalah sangat merugikan. Krisis kepercayaan yang diakibatkan oleh tindakan mereka membuat masyarakat skeptis terhadap semua bentuk organisasi dan gerakan sosial. Dengan kecerdasan dalam memilih, kita bisa mendukung perjuangan yang tulus dan berdampak nyata bagi masyarakat, serta menciptakan perubahan positif yang kita harapkan.
